Mahabharata: Sumber Lakon Wayang

Wayang itu identik dengan Ramayana dan Mahabharata. Kisah-kisah yang diceritakan dalam pertunjukan Wayang, sumber utamanya adalah kedua kitab Hindu itu. Keduanya adalah karya sastra kuno yang berasal dari India. Ramayana digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki, sementara Mahabharata digubah oleh Begawan Byasa atau Vyasa. Kedua kitab ini dianggap suci oleh para penganut agama Hindu.

Mahabharata menceritakan kisah konflik antara Pandawa dengan Kurawa. Pandawa yang berjumlah lima orang dan Kurawa yang berjumlah seratus orang itu adalah saudara sepupu. Mereka bersengkata memperebutkan tahta negara Astina. Puncak konflik ini adalah perang Bharatayuddha yang terjadi di medan Kurusetra yang berlangsung selama delapan belas hari.

Hubungan kekerabatan antara Pandawa dengan Kurawa dapat diceritakan secara ringkas sebagai berikut: Alkisah ada seorang raja bernama Prabu Santanu. Ia berasal dari garis keturunan Sang Kuru, yang berasal dari Hastinapura.

Sang raja menikahi seorang putri nelayan bernama Dewi Satyawati. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Sang Citranggada dan Wicitrawirya. Citranggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya.

Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat memiliki keturunan. Atas bantuan Resi Byasa, kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, melahirkan masing-masing seorang putera, nama mereka Pandu (dari Ambalika) dan Dretarastra (dari Ambika).

Dretarastra terlahir buta, maka tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandu, adiknya. Pandu menikahi Kunti kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madrim, tetapi akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang sedang kasmaran, maka kijang tersebut mengeluarkan kutukan bahwa Pandu tidak akan merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan mengalami ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud aslinya yaitu seorang pendeta.

Kemudian karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Lalu Batara guru mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak yang pertama yaitu Yudistira Kemudian Batara Guru mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi Kunti shingga lahirlah Harjuna, lalu Batara Bayu dikirim juga untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Bima, dan yang terakhir, Batara Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa.

Dretarastra menikah dengan Gandari. Dari keduanya lahirnya seratus orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Korawa.

Pandu dan Dretarastra memiliki saudara bungsu bernama Widura. Perjalanan hidup keluarga Dretarastra, Pandu, dan Widura inilah yang membangun jalan cerita Mahabharata.

PENGARUH MAHABHARATA DALAM BUDAYA

Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.

Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.

Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.

Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangsa pada masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gatotkacasraya pada masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.

Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Krisnayana (karya mpu Triguna) dan Bhomantaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari zaman kerajaan Kediri, dan Parthayajna (mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.

Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.

Dalam dunia sastra populer Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih. Pada era budaya populer khususnya di bidang pertelevisian, kisah Mahabharata ditayangkan oleh STAR Plus dan antv dengan judul Mahabharat. 

PRANALA